Anda sedang disini : Home / , KPK-Kemenag Bahas Tarif Nikah

KPK-Kemenag Bahas Tarif Nikah

| No comment

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan Kementerian Agama membahas mengenai tata kelola biaya pernikahan di Kantor Urusann Agama.

"Tadi dibicarakan tentang tata kelola biaya agar tidak memberatkan bagi yang tidak mampu, kemudian menyelesaikan persoalan-persoalan terkait gratifikasi bagi KUA, harapannya kalau aturan sudah diketuk tidak hanya dinyatakan sah nikahnya tapi juga sah gratifikasinya," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta, Kamis.

Pembahasan tersebut dihadiri oleh pimpinan KPK, Menteri Agama Suryadharma Ali, Inspektur Jenderal M. Jasin yang juga mantan pimpinan KPK serta Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.

"Kami belum bisa sebutkan perubahan tarif itu seperti apa, karena perubahan tarif, misalnya ada pandangan tarif tidak hanya 'single tarif' tapi 'multitarif'," ungkap Suryadharma.

Multitarif yang dimaksudkan dibuat berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi masyarakat dan dari sisi geografis karena lokasi KUA di tiap kecamatan berbeda satu sama lain.

"Ada kecamatan yang mudah dijangkau tapi ada juga yang harus digunakan 'speed boat' dan pesawat. Itu pertimbangan geografisnya, ada pertimbangan ekonominya, bagaimana miskin, menengah, kemampuan tinggi bagaimana?," tambah Suryadharma.
Model upah yang dikaji akan mencontoh upah minimum regional.

"Kalau di KUA semacam upah minimum kecamatan, makin tergambar kerumitan menetapkan tarif yang mendekati realita, tapi kami di lapangan khwatir ada tafsir berbeda dari multi tarif itu. Kalau ada tafsir berbeda maka gratifikasi itu akan muncul lagi," ungkap Suryadharma.

Ide lain adalah membuat pengurusan formulir N1, N2, N3, N4 yang dimulai dari RT, RW, kelurahan.

Dalam pertemuan tersebut juga dibahas tenaga pencatat nikah. "Tenaga pencatat nilah selain tenaga PNS (Pegawai Negeri Sipil) juga banyak tenaga relawan yang kami sebut dengan petugas pembantu pencatat nikah (P3N) yang jumlahnya banyak karena kami tidak memiliki personil yang cukup," jelas Suryadharma.

"Rekrutmen P3N tidak dapat honor resmi dari pmerintah, mudah-mudahan di pertemuan selanjutnya dapat disetujui usulan dari Kemenag oleh Kementerian Keuangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak," tambah Suryadharma.

Menurut Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, penentuan tarif diusulkan oleh kementerian teknis kepada Kemenkeu.

"Mengenai tarif, pentarifan itu diusulkan kementerian teknis kepada Kemenkeu kemudian dibahas Kemenkeu. Nanti akan kita diskusikan bersama, kita belum tetapkan multi atau single," kata Askolani.

Kemenag menargetkan untuk menyelesaikan payung hukum mengenai tarif tersebut pada awal April."Ini kan faktor ketergesaan, kami berharap begitu payung hukum ada, dana itu bisa digunakan untuk transportasi nikah di luar kantor," tambah Suryadharma.

Alur perbaikan payung hukum menurut Askolani adalah pertama merevisi Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2014 tentang Jenis Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kemudian merevisi Keputusan Menteri Keuangan (KMK) sehingga PNPB dapat digunakan untuk insentif KUA, tapi insentif itu harus disetorkan dulu ke kas negara kemudian ditarik kembali ke Kemenag.

"Setelah revisi PP dan KMK selesai, maka kami infokan harus revisi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Kemenag supaya belanja ini akuntabel dan legal, maka bisa diselesaikan pada 2014, tidak harus menunggu 2015," ungkap Askolani.

Sebelumnya KPK memang sedang mengkaji honor penghulu pada Desember 2013.
Menurut KPK, salah satu masalah yang mengakibatkan penghulu kerap menerima amplop adalah terbatasnya dana operasional KUA.

Biaya operasional KUA yang ada selama ini dianggap masih minim karena hanya mendapat biaya operasional sekitar Rp2 juta per bulan. Selain itu hanya sedikit KUA yang memiliki kendaraan operasional untuk digunakan para penghulu mendatangi calon pengantin dan jarang didukung biaya pemeliharaan.

Karena itu, KPK merekomendasikan sejumlah solusi yaitu pertama, membebankan biaya operasional penghulu yang menikahkan di luar KUA atau di luar jam kerja ke APBN. Kedua, mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yang mengatur tentang biaya administrasi pencatatan nikah dan cerai.